Sabtu, 07 Mei 2011

Tadabbur dan Tafakur


Tadabbur adalah salah satu cara untuk memahami Al-Qur’an. Kitab-kitab Tafsir yang kita kenal dan kita baca sekarang adalah hasil usaha yang optimal dari para ulama dalam mentadabburi dan memahami Aquran.

         Tadabbur menurut bahasa berasal dari kata دبــر yang berarti menghadap, kebalikan membelakangi. Tadabbur menurut ahli bahasa Arab adalah الـتـفـكّـر memikirkan. Maka, tadabbur bisa berarti memikirkan akibat dari sesuatu atau memikirkan maksud akhir dari sesuatu. Sedangkan, tadabbur menurut istilah adalah "penelaahan universal yang bisa mengantarkan kepada pemahaman optimal dari maksud suatu perkataan ".

         Tadabbur (penelaahan) Al-Qur’an diperintahkan oleh Allah swt dan ini adalah salah satu cara berinteraksi (ta'amul) dengan Al-Qur'an. Allah berfirman pada surat As Shaad : 29

كِتَابٌأَنزَلْنَاهُإِلَيْكَمُبَارَكٌلِّيَدَّبَّرُواآيَاتِهِوَلِيَتَذَكَّرَأُوْلُواالْأَلْبَابِ
Artinya : “Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”

Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa Dia telah menurunkan Alquran kepada Rasulullah dan pengikut-pengikutnya. Alquran itu adalah kitab yang sempurna mengandung bimbingan yang sangat bermanfaat kepada umat manusia. Bimbingan itu menuntun agar hidup sejahtera di dunia dan berbahagia di akhirat. Dengan merenungkan isinya, manusia akan menemukan cara-cara mengatur kemaslahatan hidup di dunia. Tamsil ibarat dan kisah dari umat terdahulu menjadi pelajaran dalam menempuh tujuan hidup mereka dan menjauhi rintangan dan hambatan yang menghalangi. Alquran itu diturunkan dengan maksud agar direnungkan kandungan isinya, kemudian dipahami dengan pengertian yang benar, lalu diamalkan sebagaimana mestinya. Pengertian yang benar diperoleh dengan jalan mengikuti petunjuk-petunjuk Rasul, dengan dibantu oleh Ilmu Pengetahuan yang dimiliki, baik yang berhubungan dengan bahasa ataupun yang berhubungan dengan perkembangan kemasyarakatan. Begitu pula dalam mendalami petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam kitab itu, hendaknya dilandasi tuntunan Rasul serta berusaha untuk menyemarakkan pengalamannya dengan ilmu pengetahuan hasil pengalaman dan pemikiran mereka.

          Untuk memberikan pengertian yang lebih terperinci mengenai pengertian ayat ini baik kiranya dikemukakan pendapat Hasan Basry.
"Banyak hamba Allah dan anak-anak yang tidak mengerti makna Alquran, walaupun telah membacanya di luar kepala. Mereka ini hafal betul hingga tak satupun huruf yang ketinggalan. Mereka mengabaikan ketentuan-ketentuan Alquran itu hingga salah seorang di antara mereka mengatakan. "Demi Allah saya telah membaca Alquran, hingga tak satu hurufpun yang kulewatkan." Sebenarnyalah orang demikian itu telah melewatkan Alquran seluruhnya, karena pengaruh Alquran tak tampak pada diri orang itu, baik pada budi pekertinya maupun pada perbuatannya. Demi Allah apa gunanya ia menghafal setiap hurufnya, selama mereka mengabaikan ketentuan-ketentuan Allah. Mereka itu bukan ahli hikmah dan ahli Pemberi pengajaran. Semoga Allah tidak memperbanyak jumlah orang yang seperti itu".
Untuk berinteraksi dengan Al-Qur'an dan melakukan tadabur yang optimal membutuhkan kiat-kiat sebagai berikut:
1.    Memperhatikan adab dalam tilawah
2.    Memperhatikan cara- cara talaqqi ( menerima ajaran )
3.    Memperhatikan tujuan pokok dari Al Qur’an
4.    Mengikuti jejak langkah para sahabat dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.
5.    Berusaha hidup dalam ruh Al-Qur'an.
6.    Dibantu dengan disiplin ilmu-ilmu lain.
Dan juga telah djelaskan pada Al Qur’an
     Surat An Nisa’ : 82
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
      Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al quran? Kalau kiranya Al quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka  mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. “

Ayat ini mencela orang-orang kafir dan orang-orang munafik tersebut ! karena mereka tidak mengerti tentang kerasulan Muhammad dan tidak mau memahami Alquran yang menjelaskan tentang kerasulan Nabi Muhammad itu, karena kalau mereka mau mengerti dan mau memperhatikan, niscaya mereka mengetahui bahwa kerasulan Muhammad dan Alquran itu memang sebenarnya dari Tuhan. Demikian janji Allah kepada orang mukmin dan ancaman Nya kepada orang kafir dan orang munafik sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad adalah suatu hal yang pasti sebagaimana pasti benarnya ayat-ayat yang disampaikan oleh Muhammad, tentang isi hati yang dikandung oleh orang munafik dan orang kafir itu. Demikian pula pasti benarnya ayat-ayat yang dibawa Muhammad tentang nasib buruk mereka di akhirat nanti, karena kalau kiranya Alquran itu dibuat-buat Muhammad bukan datangnya dari Allah yang mengutus niscaya mereka akan menemui dalam Alquran itu ayat-ayat yang bertentangan satu sama lain.

Tafakur berasal dari kata TAFAKKARO yang artinya merenungkan atau memikirkan.

Tafakur merupakan perbuatan yang diperintahkan dalam agama dan ditujukan bagi mereka yang memiliki pengetahuan untuk merenungkan berbagai fenomena alam.


Allah swt Berfirman: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S 3 Ali-Imran: 190-191)

Secara umum, objek tafakur adalah memikirkan dan merenungkan makhluk Allah swt.. Termasuk dalam katagori Makhluk Allah ialah alam semesta beserta segala yang dikandungnya.

Perenungan terhadap gejala alam sangat bermanfaat dalam rangka mengungkap tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga manusia menjadi tunduk, patuh, dan taat kepada Penciptanya, yakni Allah swt.

Batasan penting yang harus diperhatikan dalam bertafakur ialah bahwa kaum Mukminin dilarang memikirkan atau merenungkan Dzat Allah swt.

Seseorang pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentang bagaimana bersemayamnya Allah (istawa) di atas Arasy, maka sang imam pun berfikir sejenak lantas memberikan jawaban :

الاستواءمعلوم والكيف غير معلوم والايمان به واجب والسوءال عنه بدعة

Istiwa' itu telah diketahui maknanya, tetapi bagaimana caranya tidak diketahui, mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bidah.

Jawaban Imam Malik ini selanjutnya jadi kaidah yang terkenal di kalangan para ulama dalam menyikapi persoalan seputar Dzat dan Sifat Allah.

Dengan demikian, terlarang hukumnya bagi seorang Mukmin untuk bertafakur memikirkan Dzat atau Sifat Allah swt. Syekh Sa'id bin Wahf al-Qahthan menjelaskan dalam kitab Syarhu 'Aqidatil Wasithiyyah, bahwa yang harus kita lakukan mengenai keberadaan dalil-dalil yang memaparkan tentang Dzat atau Sifat Allah ialah mengimani dan menetapkan tanpa takwil (tafsir), takyif (bertanya tentang caranya), ta'thil (menolak sebagian atau seluruhnya), dan tamtsil (menyetarakannya dengan zat atau sifat makhluk).

Selanjutnya, termasuk dalam aktivitas tafakur ialah menelaah Ayat-ayat Allah swt. sehingga dapat dipahami dan di amalkan dengan benar dalam kehidupan sehari-hari. Yang patut menjadi perhatian, sebagaimana disinggung di atas, perintah menafakuri Ayat-ayat Allah hanya ditujukan bagi mereka yang memiliki pengetahuan, terutama pengetahuan agama.

Memikirkan Ayat-ayat Allah tidak dapat dilakukan kecuali terlebih dahulu mengetahui ilmu yang berhubungan dengan ayat- tersebut.

Wallahu 'Alam...